Diam, Saya Ingin Mendengar!


Salah satu kemampuan penting manusia agar bisa disukai manusia lainnya adalah keterampilan berbicara. Namun ada kemampuan lain yang jauh lebih sederhana tapi memiliki fungsi sama. Keterampilan mendengarkan.

Latihan untuk menguasai ketrampilan mendengar dapat dilatih dengan mengobrol. Mengobrol dengan nenek-nenek cerewet. Nenek-nenek cerewet yang sering kita temui. Karena dengan begitu kita akan mendengar cerita sama yang diulang, diulang, diulang, dan diulang lagi. Terus menerus tiada henti. Lagi dan masih lagi. Tantangannya adalah untuk berusaha tetap (tampak) mendengar dengan antusias.

Dalam hal ini, nenek-nenek cerewet itu adalah ibu saya.

Ibu saya bisa tiba-tiba muncul di pintu dan berbicara saat saya sedang bekerja di kamar. Saat makan. Saat berjalan ke toilet. Saat saya asyik membaca buku. Saat asyik membaca koran. Saat larut dalam ketegangan film yang saya tonton. Atau saat saya santai sendiri menikmati sepi.

Ia bisa bercerita tentang apa saja. Tentang gosip tetangga. Gosip lama atau baru. Tentang artikel di koran yang pernah ia baca. Artikel lama atau baru. Tentang pengalamannya. Pengalaman masa kini atau masa lalu. Tentang ini tentang itu tentang sesuatu yang pernah ia dengar entah di mana.

Parahnya, kalau ingin bercerita tentang K, ia akan mulai dari A – B -C -D – E -F -G dst…

Tapi saya sayang padanya. Jadi saya paksakan diri berhenti dan mendengar. Saya letakkan pensil ke meja. Saya tutup buku saya. Saya tekan tombol pause di remote kontrol. Kalau saya sedang benar-benar tak ingin mendengar, entah karena tidak mood atau memang sibuk, saya tanggapi sambil lalu dan segera meneruskan kesibukan. Berdoa agar ia segera paham. Kadang sebentar ia menyelesaikan ceritanya. Namun itu pernah berlangsung lama sampai kemudian ia berkata,

“Kamu benar-benar sedang sibuk ya?”

“Iya.”

“Ya sudah.”

Dengan ragu kemudian ia pergi. Sedang saya tak enak hati.

Yang lebih menguji hati adalah saat saya yang ingin berbicara. Ingin bercerita atau berkeluh kesah. Saya ucapkan sepenggal kalimat pembuka. Lalu dibalasnya dengan deretan cerita tiada henti yang lari kesana kemari. Ketika sudah berhenti, saya usahakan kembali ke topik yang saya ingini. Lalu berderet kembali omongan yang tak saya kehendaki.

Ya sudah saya pasrah. Berarti kali ini saya harus menggigit bibir sendiri. Mengulum cerita yang hendak saya bagi. Mengganti keluh kesah dengan desah susah saat sendiri.

Tapi saya sayang padanya. Saya tahu itu membuatnya gembira. Jadi saya biarkan itu terjadi lagi dan lagi.

Saat saya benar-benar sudah tak sabar, meletuplah kata-kata terbuka, “Iya iyaaa….”

Wajah ibu menjadi kaku, “Aku sudah pernah cerita ya?”

“Sudah.”

“Berapa kali?”

“Pokoknya sudah pernah.”

“Berapa kali?”

“Nggak tahu. Lupa.”

Lalu beliau tampak sedih. Meratapi ingatannya yang menua. Saya memaki. Menyesal dalam hati. Kadang mencari pembenaran. Namun gurat sedih di raut ibu dan sesal yang meninggi tetap tinggal menghantui.

Ada juga saat lain di mana sekedar mendengar menjadi uji kesabaran yang menyiksa. Saat di mana seorang teman bercerita dengan penuh semangat. Omongannya meracau, artikulasinya tak jelas, kisahnya membosankan. Tapi tentu saja saya tetap mendengarkan. Toh saya sudah melewati ujian “ibu” berkali-kali.

Saat cerita tersebut selesai, teman lain juga ingin bercerita. Omongannya tertutur lancar, artikulasinya bening, kisahnya menarik hati. Saya benar-benar tertarik mendengarkan. Tapi baru satu dua kalimat, teman pertama tadi, yang sepertinya mendapat inspirasi dari teman kedua, kembali bercerita. Omongannya tetap meracau, artikulasinya masih tak jelas, kisahnya semakin membosankan.

Saya tetap sabar. Ujian “ibu” masih jauh lebih berat.

Kemudian, akhirnya, ia menyelesaikan ceritanya. Tapi begitu ada teman lain berbicara, ia memotong kembali. Begitu berulang-ulang sampai saya ingin memaki, “Diam! Saya ingin mendengar!”. Begitu terus menerus sampai saya ingin bersimpuh sujud syukur bahwa teman ini bukan ibu saya.

Mungkin karena itulah anjing disebut sebagai sahabat terbaik manusia. Ia bertelinga lebar dan tak bisa berbicara.

Tapi sayangnya Cuka, anjing saya, segera menghindar saat saya mulai berkeluh-kesah. Untunglah saya memiliki blog ini. Dan anda yang bersedia membacanya.

23 Januari 2011, di kamar.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

8 Responses to Diam, Saya Ingin Mendengar!

  1. antondewantoro says:

    pendengar yang baik belum tentu sahabat yang menyenangkan juga
    sahabat yang baik belum tentu sahabat yang menyenangkan juga

  2. Lutfi Retno Wahyudyanti says:

    terimakasih. saya merasa tersanjung dengan kalimat terakhirnya.

  3. deasy says:

    Sip… saya ingin mendengar…

  4. Untuk sekarang. Saya ingin membaca dulu, karena saya tidak dapat mendengarkan tulisan.

Leave a reply to antondewantoro Cancel reply