Saat Seseorang Tersinggung, Dunia Berkurang Kelucuannya


“…cobalah anak tuan yang berumur 6 bulan, tuan pangkas, tuan potong polka, lalu tangannya tuan tolak pinggangkan, dan tuan tengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti mandor besar kebun mengontrol pekerjaan kuli-kulinya, tuan terkejut akan efeknya. Tuan ketawa melihat anak tadi. Sebab “kebagusan” tadi tidak mengandung kebenaran.” –  S. Sudjojono, Kebenaran Nomor Satu, Baru Kebagusan.

Sudjojono, pelopor gerakan seni rupa Indonesia baru, memang tidak sedang mencoba mendefinisikan kelucuan. Ia sedang menjelaskan bahwa dalam berkesenian, kebenaran harus selalu ditaruh di atas kebagusan. Namun semoga di alam sana ia tidak berkeberatan jika tulisannya saya pakai untuk mendedah kelucuan.

Dari tulisan di atas saya menyimpulkan bahwa tawa terjadi karena kita menyaksikan sesuatu yang bagus tetapi tidak benar. Sesuatu yang salah, tetapi menyenangkan.

Pada sebuah ulangan sewaktu masih di sekolah dasar dahulu, saya pernah menghadapi pertanyaan, “Kenapa kita tidak boleh merokok?”. Saya menulis jawaban “Karena satu batang rokok mengurangi umur kita lima menit.” Guru saya memberi coretan merah pada jawaban saya. Orang serumah tertawa terbahak saat melihat kertas ulangan itu. Saat itu saya merasa tidak lucu. Saya tidak melihat ada yang salah. Itu adalah jargon dari iklan layanan masyarakat yang terus menerus di putar di televisi. Saat ini saya masih tidak merasa salah, tapi saya sudah mampu melihat lucunya. Jawaban saya dianggap salah, tapi bagus. Karena itu orang rumah pada tertawa. Bagi saya waktu itu, jawaban saya bagus dan tidak salah. Maka saya tidak tertawa.

Salah-benar bagus-jelek memang relatif. Cuma bedanya, salah-benar cenderung lebih dapat dijadikan kesepakatan bersama daripada bagus-jelek.

Saya mempunyai wajah. Itu jelas benar. Orang buta pun bisa mengetahuinya. Tapi bagus tidaknya wajah saya bisa diperdebatkan. Mungkin masyarakat dengan mudah bersepakat bahwa saya ini jelek, tapi tentu tidak dengan ibu dan nenek saya. Maka untuk membentuk kelucuan, prasyarat “tidak benar” jauh lebih mudah dicapai dibanding prasyarat bagus.

Misalnya kita berjumpa dengan seorang nyonya yang luar biasa gemuk. Yang celananya cukup lebar untuk dijadikan sprei kasur. Setelah basa-basi sebentar, anda berujar padanya, “Wah, wah. Pasti dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk berjalan mengelilingi anda!”

Percayalah saya pasti terbahak mendengar ucapan anda! Tapi belum tentu dengan nyonya tadi. Mungkin juga ia tertawa, mungkin juga dengan marahnya ia akan menampar kemudian menindih anda sampai segepeng martabak.

Tertawa atau marahnya nyonya tadi berkaitan dengan persepsinya sendiri terhadap ukuran tubuh. Jika ia merasa nyaman menjadi gemuk atau bersedia menerima kenyataan itu, tentu ia tertawa. Tapi jika tidak ia akan tersinggung. Dan orang yang sedang tersinggung tak kan mampu melihat kelucuan. Mungkin, jika suatu hari ia sudah kurus, atau menerima kegemukannya, atau menikah dengan anda, ia akan mengenangnya dengan tertawa.

Jangan berpikir contoh saya ini keterlaluan. Jangan berpikir mana mungkin ada orang yang bisa tertawa dengan keburukan nasibnya. Bagaimana mungkin memandang sisi “bagus” dari kemalangan diri. Karena sungguh, hal ini berkaitan erat dengan kelapangan hati memandang kenyataan.

Beberapa bulan setelah gempa Yogyakarta tahun 2006, saya berkesempatan bercengkrama dengan beberapa anak korban gempa. Saat itu saya bertindak sebagai fasilitator pelatihan membuat film pendek. Di tenda terpal yang panas, di tengah-tengah reruntuhan desa yang rata dengan tanah kami berkumpul. Salah seorang anak meminta ijin untuk pulang sebentar.

“Mulih ning ndi? Omahmu wae wis ambruk kok!” sahut anak yang lain. (Pulang ke mana? Rumahmu saja sudah ambruk kok!”)

Dan seketika itu gegap gempitalah isi tenda. Anak-anak tertawa terbahak riang. Yang mau pulang tadi cengar cengir juga. Mulut saya membuka, tapi tidak mampu tertawa. Saya tercengang. Siang itu, di bawah terpal di atas tikar di tengah puing reruntuhan, saya menyaksikan kelapangan hati maha luas milik anak-anak. Hati mereka sedemikian lapangnya sehingga mampu memuat hancurnya harta benda dan kematian beberapa tetangga. Ya ya, mereka semua ceria menertawakan kenyataan bahwa keluarga mereka sudah tidak punya rumah lagi.

Apalah arti obesitas, hidung besar, jerawat wajah, gigi maju, lidah cadel, dan segala macam keburukan dibanding bencana yang tak dapat dikendalikan manusia dan meluluhlantakkan semua.

Pernyataan anak tadi jelas “tidak benar”. Anak itu punya tempat pulang. Orang tuanya masih ada, dan mereka tinggal dalam tenda. Tapi kemampuan mereka untuk melihat hal itu sebagai “bagus” merupakan hal luar biasa. Saya bisa memahami letak “bagus”nya, tapi sayangnya saya yang rumahnya masih utuh malah tak mampu merasakannya. Jadi saya tak mampu tertawa. Bahkan sampai sekarang. Kalaupun saya tertawa menceritakannya, itu disebabkan kenangan saya akan tawa mereka. Bukan karena runtuhan puing bertumpuk dan debu putih yang mengambang.

Sering kali memang bukan kita yang menentukan benar tidaknya suatu perkara. Kebanyakan kita harus menerimanya begitu saja. Menerima kenyataan kalau kita cacat, miskin, pesek, juling, dekil, dan bodoh. Untungnya bagus atau tidak kesemuanya itu, murni ada di tangan kita sendiri.

Kita bisa saja menginginkan jerawat merah besar di ujung hidung kita segera menghilang, tetapi kita tidak perlu menganggapnya suatu hal yang tidak bagus. Kalau kemudian ada yang mengatai kita agar berhenti berbohong sebelum hidung kita bertambah panjang lagi, kita tak perlu tersinggung. Ikutlah tertawa saja. Karena hanya hal jelek yang membuat tersinggung. Sedang hal bagus selalu berbuah tawa.

Jadi apabila anda sependapat dengan definisi kelucuan seperti di atas, ingatlah selalu bahwa kelucuan dan ketersinggungan berdiri saling berhadapan dalam sekat tipis. Sekat itu disebut kelapangan hati. Dan setiap kali kita tersinggung, dunia berkurang kelucuannya.

dimabil dari buku komik “Curhat Si Koel”

25 Februari 2011, di kamar

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

11 Responses to Saat Seseorang Tersinggung, Dunia Berkurang Kelucuannya

  1. ruwet juga tulisannya. tapi pada dasarnya saya setuju setuju saja.

  2. Ya, sepertinya kita harus pandai-pandai menempatkan diri. Aku sendiri sering menganggap banyak hal lucu. Cuma aku sekarang mulai mikir apa hal tadi juga lucu bagi orang lain sebelum aku ngomong pendapatku. BTW: komiknya itu pengalaman pribadikah?

  3. antondewantoro says:

    saya punya kawan sebut saja namanya Z, dulu biasa kita hina dengan muka kotaknya dan nasibnya yang selalu apes, dan konyol…seperti mengambar PCB tidak pada bagian berlapis tembaga (lelucon paling lucu di elektro, semoga anda paham).
    Dulu si Z selalu tersinggung hingga kerap ingin menapuk wajah si penghina, makin dia tersinggung makin meledak tawa kami.
    Lambat laun dia mulai menerima semua cercaan dengan tersenyum saja dan sikap merendah….dan dunia di sekitar kami menjadi tidak lucu lagi ketika dia menganggap olok-olok itu hal yang lumrah
    Kelucuan muncul karena ada potensi ketersinggungan, ketika presiden SBY kita puja sebagai pemimpin yang tampan bijaksana tentu yang tertawa hanya beliau.
    Ketika ada yang menggambarkan dia sebagai rekan homonya Roy Suryo, kawan kita tersebut ditahan di ngupasan, dan banyak orang tertawa dibuatnya.
    CMIIW

    • Komentar yang menarik dari Bung Anton…, mari kita kaji bersama.

      Ketika kawan anda Z -yang lebih enak kita panggil Squareface saja- tersinggung, dunia anda memang lebih lucu. Tapi tidak dunianya, dunia si Squareface berkurang kelucuannya. Malah tidak lucu sama sekali. Saya tidak sependapat bahwa ketersinggungannya lah yang membuat tawa anda dan tawa teman-teman anda meledak. Anda tertawa karena RESPON yang ia berikan. Dalam hal ini keinginan menapuk wajah si penghina.
      Lambat laun Squareface mempelajari, bahwa jauh lebih mudah menghadapi banyolan anda dengan RESPON tersenyum dan sikap merendah. Dengan respon tersebut, anda dan teman-teman jadi kurang bersemangat menghina lagi. Sampai akhirnya berhenti. Persis seperti yang ia inginkan. Dan berkuranglah kelucuan dunia. Dunia squareface…dan dunia anda.

      Ini tidak akan terjadi jika Squareface melihat kebagusan dari wajah kotaknya dan turut tertawa bersama kalian. Bahkan mungkin ia akan men-cat kepalanya dengan cat kuning dan memasang celana kotak di dagunya. Jika itu yang terjadi, saya yakin banyolan wajah kotak itu akan tetap bertahan sampai sekarang.

      Sebagai contoh kasus, saya punya kawan yang kita berinisial B. Giginya tonggos. Teman-teman sering menghinanya. Tapi ia turut tertawa jika kami membuat lelucon tentang giginya, bahkan ia akan merespon dengan memonyong-monyongkan mulutnya. Selain itu ia juga kerap membikin banyolan sendiri tentang keadaan giginya. Kami semua suka. Keuntungan lebih yang ia dapat adalah, tidak ada kawan yang akan mengungkit persoalan gigi tersebut sebagai upaya menyakiti hatinya. Karena dijamin itu akan percuma.

      Begitulah tanggapan dari saya. Omong-omong, saya (dan saya yakin banyak orang lain) akan tertawa jika anda memuji-muji SBY sebagai pemimpin yang tampan dan bijaksana.

  4. negeribocah says:

    komik nya bagus! hahaha

  5. justikarahma says:

    sya mmbli bku crhat si kOEl…
    dan trnyta isiny bnar2 mmbwt sya bgtu…..
    TERBAHAk2….

  6. Norma says:

    Sukaaaaa…… 🙂

Leave a reply to kurniahartawinata Cancel reply