Bapak Tua yang Dikelilingi Ratusan Buku


Saat melihat-lihat buku-buku bekas, mata saya terpaku pada sebuah buku tentang kehidupan Tiong Hoa di Betawi pada jaman Hindia Belanda. Karena saya sedang suka dengan atropologi dan keadaan Nusantara di jaman Hindia Belanda, saya ambil buku itu dari raknya. Terbungkus plastik. Kertasnya sudah kuning. Tapi masih bagus. Tidak salah ini buku langka. Saya balik, melihat back cover-nya. Sepertinya menarik. Oh, ada harganya. Ouch, sembilan puluh lima ribu rupiah untuk buku sekecil itu. Pemilik kios ini pasti paham mengenai buku tua. Saya urungkan niat saya membelinya.

Belum sempat saya menaruh kembali buku itu ke rak, seorang lelaki tua tergopoh-gopoh menghampiri saya,

“Buka saja Mas, buka saja.”

Pak tua tersebut mengambil buku itu dari tangan saya, lalu membuka plastik yang membungkusnya. Karena merasa tidak enak, saya buka-buka buku itu. Padahal tidak lagi ada niat memiliki. Terlalu mahal. Dengan harga yang sama, saya bisa dapat buku baru yang lebih menarik.

“Duduk Mas, duduk. Itu ambil kursinya.”

Pak tua menunjuk kursi plastik tak jauh dari saya. Saya semakin terjebak suasana. Saya ambil kursi itu. Duduk dan kembali membuka-buka buku tanpa minat.

Pak Tua mengambil rokok dari sakunya. Menawarkan pada saya.

“Tidak Pak, terima kasih.”

Selain di situ adalah kawasan dilarang merokok, saya sendiri memang tidak merokok.

Pak Tua lalu menawarkan rokoknya ke pemuda lain yang sedang melihat-lihat buku di situ. Sepertinya sudah kenal akrab.

“Memang boleh? Bukannya nggak boleh Pak?”

“Siapa yang melarang? Pemerintah ?!? Jangan mau dilarang-larang!”

Pak tua menyalakan korek dan menyulut rokoknya.

“Jadi orang itu harus merdeka. Dahulu kita dijajah Belanda. Jepang. Sekarang pun masih dijajah! Dijajah siapa?”

Kami, dua pemuda tanggung ini cuma bisa meringis di hadapan seorang penjual buku bekas.

“Dijajah pemerintah! Buat apa taat sama penjajah? Taat hukum? Memang ada hukum di negara ini? Coba lihat…”

Gayus dan teman-temannya disebutkan. Satu persatu, bersama daftar dosa-dosanya.

“Kalau mereka saja bisa dibiarkan sebebas itu, kenapa kita merokok saja tidak boleh? ”

Menarik juga Pak Tua ini. Saya sudah menutup buku saya, dan diam menyimak pidatonya.

“SBY itu apalagi. Bagi saya SBY itu bukan singkatan Susilo Bambang Yudhoyono. SBY itu Si Budak Yahudi.”

Dideretkan dosa-dosa SBY sebagai antek Yahudi yang lebih mementingkan kepentingan Amerika dan Eropa dibanding kepentingan rakyat Indonesia.

“Itu Mas bisa baca buku itu kalau tidak percaya.”

Pak Tua menunjuk sebuah buku di belakangnya. Buku tentang teori konspirasi Yahudi di Indonesia. Jenis buku yang saya golongkan sebagai buku sampah.

Tapi di luar pendapat saya tentang pemikirannya, saya menghargai Pak Tua. Saya selalu menghargai orang yang suka dan banyak membaca. Wawasannya luas. Pemikirannya dijabarkan secara terstruktur. Orang yang banyak membaca juga cenderung lebih toleran karena banyak melakukan gesekan gagasan dengan teks-teks dihadapannya. Apalagi Pak Tua ini, seorang yang tiap hari dikelilingi buku-buku berharga. Ai ai…bisa-bisa saya yang sarjana strata satu dari universitas ternama ini tak ada apa-apanya dibanding ia yang cuma lulusan SD.

Obrolan terus berlanjut. Pak Tua ini seorang Islam. Istrinya mualaf. Mertuanya pendeta. Hubungan mereka sekeluarga baik-baik saja. Ia mencintai Islam, namun sedih saat melihat pengikutnya melakukan kekerasan. Ia mengakui banyak muslim sudah salah jalan. Bukan berarti lalu ia liberal. Ia menunjuk Gus Dur, Nurcholis Majid, dan Ulil sebagai perusak Islam.

Setelah bertanya secara sopan apa agama saya, ia menyinggung sedikit hubungan antara agama-agama samawi. Saya manggut-manggut. Terus menyimak. Tampak jelas rasa superioritas atas agamanya, namun dibalut dengan kerendahhatian yang elegan. Saya menghormatinya.

Obrolan mulai menyangkut soal Ahmadiyah. Ia jabarkan sejarah Ahmadiyah. Menurut teorinya, Ahmadiyah adalah bentukan konspirator Yahudi untuk menghancurkan Islam. Ia tuturkan argumen pendukungnya. Tentang Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, yang kabur ke Inggris. Sudah sering saya dengar dan baca. Tapi saya terus menyimak. Ada suatu kekuatan memikat dalam suara tuanya. Dan saya suka.

Ia tunjuk sebuah buku tua bersampul plastik di belakangnya)*. Dekat buku tentang konspirasi Yahudi tadi.

“Itu kalau mau tahu, itu bukunya Mirza Gulam Ahmad. Tapi tidak sembarang saya jual. Kalau yang beli masih kosong, nanti malah menyesatkan.”

Bijaksana sekali Pak Tua ini.

“Memang isinya bagaimana sih Pak?” tanya saya ingin tahu.

“Oh, saya belum baca.”

PRAAAKK….runtuhlah segala kekaguman saya pada bapak itu, perokok tua di hadapan saya.

Belum. Ia bilang BELUM. Ia bilang belum membaca stapi membeberkan kesesatan isinya pada orang tak dikenal. Dan buku itu selalu didekatnya! Bebas jika ingin ia baca!

Sayangnya memang begitulah potret manusia. Kita hanya mau melihat yang ingin kita lihat. Kita hanya mau mendengar apa yang ingin kita dengar. Kita hanya mau merasa apa yang ingin kita rasa. Kita hanya mau membaca apa yang ingin kita baca. Dan akhirnya yang kita sangka sebagai penemuan kebenaran, ternyata hanyalah pembenaran.

Sama halnya dengan seorang kawan saya yang menulis status di facebooknya. Menyatakan kalau jasa yang kita kenang dari RA Kartini sebenarnya hanyalah curhat-curhatan biasa. Tidak ubahnya dengan menulis status di jejaring sosial. Saya ragu kalau ia sudah membaca “Habis Gelap Terbitlah Terang”)**. Kalaupun belum, sebenarnya ia bisa mencari tahu dahulu melalui internet. Sebelum membuat pernyataan kontroversial melalui fasilitas internet pula.

Tidak beda juga dengan pembenci teori Darwin yang menganggap teori Darwin berbunyi, “Manusia berasal dari monyet!” Kalau saja mereka benar-benar mau mempelajari apa yang dipaparkan Darwin….ck, masih juga orang-orang jaman sekarang termakan propaganda gereja ratusan tahun lalu.

Tidak beda dengan pembenci komunisme, tapi tidak tahu apa itu komunisme. Tidak beda dengan penghujat Marxisme tapi tidak mau tahu seperti apa indahnya mimpi Karl Marx.

Kita menjatuhkan vonis. Baru kemudian mencari bukti-bukti terkait.

Manusia oh manusia, kapan kita bisa mulai belajar terlebih dahulu sebelum menyimpulkan.

Obrolan dengan Pak Tua tadi terus berlanjut. Ia bersemangat. Saya tetap menyimak. Mendengar dengan patuh. Namun masygul.

Saat ia selesai, ia jabat tangan saya. Ia tanya nama saya. Akrab. Seolah menemukan sahabat baru. Ia tepuk-tepuk pundak saya sebagai tanda perpisahan.

di kamar, 10 Juni 2011

)* seingat saya buku itu berjudul “Religion of Islam”, tapi saya tidak mendapat keterangan apa pun mengenainya saat saya bertanya pada Google.

)** buku kumpulan surat menyurat yang membuat RA Kartini tersohor. Ditilik dari konteks sosial saat itu, apa yang dilakukan Kartini saja sudah memukau. Saat Kartini mulai melakukan surat menyurat (dengan para pembesar dan terpelajar Belanda), di Hindia Belanda ini hanya baru ada empat Bupati, jabatan tertinggi bagi pribumi, yang mampu menulis dan membaca Belanda dengan baik. Selain surat-suratan curhat seperti yang teman saya katakan, beliau juga menulis untuk majalah dan koran. Di Hindia-Belanda dan di Belanda sendiri. Kartini juga memberdayakan masyarakat sekitar dengan memperkenalkan ukiran Jepara, kerajinan kulit penyu, dan kerajinan lain pada Eropa.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

10 Responses to Bapak Tua yang Dikelilingi Ratusan Buku

  1. Niken says:

    Wah, ini peringatan untuk berhati-hati supaya tidak terjebak di kios buku bekas yang aneh.

  2. Tobias Tjandra says:

    Wah, jd inget..uda lama ga baca buku yg berbobot :p

    IMHO, banyak baca aja ga cukup..musti diiringi mikir / merenung.
    Btw, Kur, u suka baca2 ttg budaya Tiong Hoa jaman Belanda?

    • :p repotnya banyak yang nggak suka membaca dan merenung, cukup membebek tokoh yang dikagumi.

      Sedang suka Bi, pas dapet pinjeman buku-bukunya Pram plus bacaan lain tentang situasi menjelang kemerdekaan. Ternyata menarik sekali melihat jalinan2 yang ada. Jalinan-jalinan yang menjadi cikal bakal Indonesia masa kini. Sebenarnya nggak khusus budaya Tionghoanya sih, keadaan sosial di jaman itu saja. Ternyata nggak bisa lepas juga dari budaya Tionghoa saat itu.

  3. rica margareta says:

    jadi ikutan merenung. :I

  4. anton says:

    Akan teralu membosankan jika kita berpikir terlalu dalam dan mencari dasar yang tepat dahulu sebelum berpendapat. Akan lebih mudah kalau kita taruh cap dulu dan ralat belakangan. Saya pernah dihujat orang se-Merapi gara-gara mencibir para “relawan”, tapi itu tidak menyurutkan niat saya untuk terus berpendapat entah benar atau salah. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak orang yang mulutnya lebih cepat dari otaknya justru beroleh banyak kemakmuran dan kemudahan. Tak patut memang, tapi begitulah yang lazim terjadi.

    • Bukan cuma terlalu membosankan, tapi malah tidak pernah berpendapat sama sekali.

      Anda hobi main cap dulu baru ralat belakangan. Sayangnya yang tidak mungkin Saudara Anton sadari, Saudara rajin menambah wawasan. Terlihat dari tulisan-tulisan Anda. Dan perbedaan paling penting, Anda mau meRALAT! Itu beda besar antara yang berusaha memahami kebenaran dan yang mencari pembenaran.

  5. benny says:

    ijin copas ya !

Leave a reply to Tobias Tjandra Cancel reply