Disrupsi, atau apapun istilahnya, sudah selalu terjadi sejak dulu. Politik, perang, bencana alam, kemajuan teknologi, kerap membuat perubahan yang memaksa manusia harus beradaptasi untuk bertahan.
Semakin ke sini, frekuensi disrupsi semakin rapat terjadi. Dunia semakin menyatu sehingga satu wilayah semakin mempengaruhi wilayah lain. Pemanasan global merusak pola iklim. Ilmu pengetahuan menyentuh ranah yang tak terbayangkan sebelumnya. Percepatan perubahan tak terelakkan.
Adaptasi yang dipaksa perubahan memicu stress. Apa yang dikumpulkan bisa tercerai berai sebelum dipakai. Apa yang dibangun bisa runtuh sebelum selesai. Apa yang ditanam bisa tumbang sebelum dipanen. Rencana-rencana jangka panjang padam saat berjalan.
Memetik hasil segera jadi terasa lebih masuk akal. Kalau ada yang bisa dinikmati sekarang, panen sekarang! Lebih menguntungkan kalau ditunggu nanti? Siapa tahu disrupsi terjadi dan malah gigit jari.
Coba saja lihat cara pikir masyarakat kekinian. Seberapa panjang mereka rela menahan kesenangan sesaat demi memperjuangkan masa depan.
Tapi bagaimanapun, aku percaya, keberkahan hal instan cuma ilusi. Mie instan memang siap saji, tapi itu tetap memiliki proses panjang yang tidak kita saksikan sebelum kita beli. Untuk itu, dalam menghadapi gelombang perubahan yang menyeret kita ke sana kemari, kita butuh lebih mengakar, kuat mencengkram ke dalam.
Bagaimana caranya?
Secara ideologis, pilih nilai kemanusiaan universal, yang tak tercela dalam semua zaman dan tempat, sebagai jangkar yang menahan. Sebagai tambatan yang menjaga kita tidak terseret arus kebencian dan keserakahan, hingga lupa sebenarnya apa yang membuat kita bahagia.
Secara praktik, fokus menguasai pengetahuan-pengetahuan dasar karena perubahan di sana relatif kurang. Hal-hal teknis permukaanlah yang perubahannya sangat cepat, dan bisa kita lihat semakin lama penggunaannya pun semakin mudah. Ketika perubahan-perubahan menghempas dan kita terpaksa roboh, dari tunggul yang memiliki akar kuat itulah tunas-tunas baru mudah tumbuh kembali.
Dalam zaman tak menentu, terus menerus eling, sadar, perhatian, pada apa yang utama, menjadi semakin penting.
Yogya, 18 Februari 2024.