Cuka, Anjing Saya Sakit


Belum lama ini anjing saya, Cuka, jatuh sakit. Ia tak mau makan, badannya lemas, hidungnya kering dan panas, faecesnya cairan kental hitam kemerahan. Lendir putih sedikit merah meleleh dari kemaluannya. Terus menerus, sedikit berjeda tapi tak berhenti. Menggenangi lantai tempatnya berbaring, merembes terserap dalam bulu-bulunya yang panjang, meruapkan aroma bacin ke seluruh sudut rumah, menggelincir licin anyir dalam tangan dan kain lap yang saya gunakan untuk membersihkan. Ayah saya yang paling tidak tahan dengan bau amis terpaksa makan di luar. Ibu saya terisak saat membicarakan bagaimana kalau Cuka meninggal. Saya? Saya tak tahu harus bagaimana.

Harapan datang saat dokter hewan yang sudah dinanti tiba. Malam itu Cuka menerima tiga suntikan di pahanya. Satu suntikan untuk penicilin. Cuka tegang namun tetap tenang. Satu suntikan antihistamin. Cuka memberontak, melenguh kesakitan dalam dekapan saya. Satu lagi entah apa untuk mengobati pencernaan. Cuka menguik, ditemani hati saya yang turut tercekik.

Jam tiga pagi saya terbangun oleh lenguhan yang semakin lama semakin keras. Di sudutnya Cuka menatap saya penuh rasa takut. Ketika saya hampiri, tak butuh waktu lama untuk mengetahui apa sumber lenguhannya.

Apa yang kau lakukan saat bangun dari tidurmu dan menyadari bahwa kau tidak mampu berdiri?!

PANIK ! Begitu juga Cuka!  Begitu juga saya saat mengetahui apa yang terjadi pada Cuka!

Tapi apa daya. Apa yang bisa saya lakukan. Apa yang bisa saya lakukan.

Untunglah Cuka tenang setelah saya membawakannya minum. Ia minum bagai musafir selewat padang pasir. Tapi itu tak berlangsung lama. Sebentar kemudian racauannya kembali lagi. Dan saya merelakan kantuk di mata menemaninya.

Matahari mulai bersinar, Cuka sebentar diam sebentar rewel. Orang tua saya bangun dan bersiap-siap hendak pergi ke makam nenek. Kebetulan hari itu adalah hari peringatan meninggalnya nenek. Seharusnya saya turut berangkat, tapi ayah dan ibu saya membiarkan saya menemani Cuka. Ada keraguan dalam diri saya, apakah saya harus tinggal ataukah turut pergi.

Cuka tampak menyedihkan. Di tengah lumpuhnya ia berusaha bangun. Kaki depannya yang masih berfungsi baik berusaha menopang tubuh sekaligus mencoba meraih saya. Matanya menatap saya penuh pertolongan. Namun ketika saya mencoba mengangkat badannya, ia berteriak kesakitan. Ketika saya mencoba membantunya menyangga badan, ia berhenti berusaha. Dan melorotlah lagi dirinya ke lantai. Saya mengeluh lirih padanya, “Bagaimana bisa bangun kalau kamu bukannya berusaha menopang diri sendiri tapi malah ingin meraih aku?” Saya seputus asa tatapannya.

Saya mendekati ibu yang sudah siap pergi. Bertanya, mengingat watak Cuka apakah sebaiknya saya ikut mereka atau tidak. Memang begitu biasanya Cuka. Kalau ada anggota keluarga di dekatnya ia jadi malas berusaha. Sewaktu kecil ia selalu memaksa ditemani jika ingin melihat kucing tetangga berkelahi. Minta diambilkan mainan kunyahan walau sesungguhnya sudah bisa ia raih sendiri jika berdiri. Minta dibukakan pintu kamar jika ingin keluar atau masuk.  Saat berhasil diajari membuka pintu kamar sendiri, ia hanya menggunakan kemampuan itu jika sedang tak ada orang atau situasi yang memaksanya terburu. Bahkan ia lebih memilih membangunkan saya yang sedang tidur daripada keluar sendiri.

“Benar,” kata ibu saya. Lebih baik ditinggalkan sendirian. Dan kamipun meninggalkan Cuka yang menatap kepergian kami sambil menguik. Saya gelisah, tapi saya percaya itu yang terbaik.

Benar. Ketika kami pulang dari kuburan, Cuka masih di tempatnya. Masih terbaring. Tapi posisinya telah berubah, ketika tadi kaki kanan belakangnya yang di bawah, sekarang kaki kiri belakangnya yang di bawah. Berarti ia sudah sempat berdiri walau mungkin langsung jatuh lagi. Ia sudah tenang. Ketika saya dekati dan saya elus kepalanya, ia diam saja. Hanya memandang. Tak ada lagi tatapan putus asa seperti tadi. Tampaknya ia sudah lega, menyadari ia tidak se-tak berdaya yang ia sangka.

Hari itu Cuka membaik. Lumpuhnya, seperti yang diperkirakan, berasal dari suntikan yang ia terima semalam. Sore hari, sekitar jam tiga, tahu-tahu ia bisa bangun. Berjalan tertatih-tatih. Lalu membuang air kecil terbanyak yang pernah saya lihat. Sedikit demi sedikit ia terus membaik, dan saat saya menulis ini ia sudah bisa berlari saat menaiki tangga.

Namun perasaan pada dini hari itu tetap membekas keras dalam hati saya. Tatapan dan kakinya yang mencoba meraih saya itu belum mampu saya lupakan. Tatapan yang meminta pertolongan saat saya tak sanggup menolong. Kakinya yang meraih ingin dibantu saat seharusnya mantap menjejak tanah untuk berdiri sendiri.  “Bagaimana bisa bangun kalau kamu bukannya berusaha menopang diri sendiri tapi malah ingin meraih aku?”

Bagi saya, cerita Cuka yang sakit ini seperti cerita tentang kepompong dan seorang biarawan. Suatu hari di kebun, seorang biarawan melihat seekor kupu-kupu berusaha keras keluar dari kepompongnya. Karena kasihan, ia bantu kupu-kupu itu dengan menyobek sedikit bagian dari kepompong. Kupu-kupu itu memang jadi mampu keluar dengan mudah. Sayangnya, yang tidak diketahui oleh sang biarawan adalah tanpa proses keluar dari kepompong itu, sayap kupu-kupu tak dapat berkembang dengan sempurna. Dan kupu-kupu itu tak dapat terbang. Pertolongan yang didapatnya membuatnya tak dapat menikmati kehidupan sebagai kupu-kupu seutuhnya.

Sama seperti Cuka. Keluarga kami terlalu memanjakannya. Ia berkembang jadi anjing yang terlalu menggantungkan diri pada majikannya, bahkan untuk hal-hal remeh sekalipun. Umur anjing tidaklah terlalu panjang, dalam jangka waktu hanya belasan tahun kami bisa melihatnya dari kanak-kanak sampai tua. Kami mampu menuai segala akibat yang kami tanamkan padanya. Kami mampu melihat segala kerusakan dari apa yang kami maksudkan sebagai kasih sayang. Kami mampu merasakan segala kepedihan dari apa yang kami kira sebagai kewajiban.

Pembaca mungkin merasa saya terlalu sentimentil. Berpanjang-panjang mengeluh tentang kegagalan mendidik seekor anjing rumahan murahan. Yang bahkan anjing ras pun bukan. Tapi ini yang ingin saya sampaikan kepada anda; Saya sudah gagal mendidik anjing, namun saya berjanji menolak gagal mendidik anak-anak saya kelak. Menolak rasa tidak tega, menolak ilusi rasa sayang, menolak segala bantuan yang merusak. Karena anak-anak saya kelak bukanlah peliharaan semata, yang seumur hidup memang ditakdirkan untuk hidup terus bersama majikannya. Karena anak-anak saya kelak, bukanlah anjing.

Yogyakarta, September 2010

This entry was posted in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink.

20 Responses to Cuka, Anjing Saya Sakit

  1. kudha says:

    tp bapak ibumu cukup berhasil mendidik anaknya
    tinggal dicontoh aja…

  2. Abraham Hyuuta says:

    Tulisan yang bagus..

    Buat Cuka…cepat sembuh ya…

  3. Timbul says:

    Semoga cepat sembuh ya cuka…

  4. antondewantoro says:

    bagus sekali, boleh saya repost?

  5. Eny says:

    Baru baca atas rekomendasi timbul. Tulisan yang menarik. Mengingatkan pada sebuah episode acara Oprah Winfrey yang mengundang Caesar Millan, seorang pelatih anjing atau lebih tepatnya dog-whisperer karena kemampuannya ‘berkomunikasi’ dengan anjing, untuk menangani Sophie, mendiang anjing Oprah, yang memiliki masalah tidak mau ditinggalkan di rumah. Setiap kali Sophie hendak ditinggal, ia akan ‘menangis’. Saking besarnya kasih sayang Oprah pada Sophie, Oprah tidak tega mendengar tangisan Sophie dan selalu kembali untuk menghiburnya. Perilaku ini merugikan keduanya. Sophie jadi manja sementara Oprah kerepotan.
    Caesar pun melihat permasalahan ini sebagai ‘kegagalan’ Oprah dalam mendidik, saking berlebihnya kasih sayang yang dicurahkannya pada Sophie. Oprah tidak dapat menolak rasa tega, menolak ilusi kasih sayang, dan menolak segala bantuan yang merusak.
    Karena itu, saat Caesar mengajarkan Sophie untuk dapat tenang saat ditinggal, ia terlihat lebih banyak ‘melatih’ Oprah untuk memiliki rasa tega, menghapus ilusi kasih sayang dengan membiarkan Sophie ‘menangis’. Hasilnya jelas. Tangisan ‘Sophie’ berakhir dengan sendirinya dan dengan pengulangan Sophie tidak lagi merajuk saat ditinggal.
    Kesimpulannya sama. Kasih sayang yang berlebih dan pertolongan yang merusak tidak akan menjadikan lebih baik untuk yang memberi pun yang menerima kasih sayang.

  6. ericbdg says:

    waduh ini mirip banget anjing gw yang ilang, tapi dia ada belang coklatnya. Dulu pernah sakit juga, kena parvovirus, keluarga ganti giliran jenguk waktu rawat inap di dokter hewan. Kemungkinan besar dicuri, dan dijual lagi, dan semoga dibeli orang yang suka anjing. Semoga benar.

  7. Samuel ch says:

    cuka jenis anjing apa ya? saya ada anjing persis seperti cuka hahaha warna putih sekujur tubuhnya bulu panjang dan bermata melas hahaha

  8. surdy says:

    mas,, sampeyan jogja alamat mana? saya dulu beli anjing tahun 2010, mirip banget dengan punya sampeyan.. sampeyan ada facebook? salam kenal dari Malang

  9. sesa says:

    Cuka….anjing apa?

Leave a comment